Category Archives: Hukum Aparatur Negara

Perluasan Unsur Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam Keputusan atau Beschikking (Studi Kasus Arif Budiman dengan Universitas Kristen Satya Wacana)

Pendahuluan
Rakyat adalah pemegang tahta kekuasaan tertinggi dalam pola pemerintahan bercorak demokrasi. Begitu mulianya peran rakyat sering ada ungkapan vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara tuhan. Karena rakyat berjumlah besar, maka suara itu diwakilkan melalui apa yang disebut pemerintah, dan implementasinya dilakukan oleh badan atau pejabat publik. Namun, seiring perjalanan seringkali terjadi friksi antara berbagai golongan, konflik kepentingan yang ada mengakibatkan adanya pihak-pihak yang dirugikan, baik secara pribadi maupun yang bersifat komunal. Kompleksitas permasalahan juga betambah rumit manakala kebijakan itu tidak hanya menyangkut badan atau pejabat publik saja. Sudah menjadi lazim dalam berbagai sektor, pihak ketiga, yakni swasta turut serta dalam peranan kebijkan publik tersebut. Hal ini terkadang tidak dilihat secara jelas, namun dapat tersirat dalam berbagai keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Permasalahan
Dalam rumusan pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ini menjelaskan bahwa hanya keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara saja yang dapat diajukan sebagai gugatan untuk beracara di Peradilan Tata Usaha Negara ini. Keberadaan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai locus standi dapat dipertanyakan. Dalam kasus Arif Budiman, tidak ada badan atau pejabat tata usaha negara secara khusus, melainkan pihak swasta yang mendapat wewenang untuk melaksanakan kebijakan publik, dalam hal ini adalah menyelenggarakan pendidikan. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kasus lain yang menghadirkan pihak swasta di PTUN, karena dianggap sebagai pihak yang menggantikan posisi badan atau pejabat tata usaha negara.

Pembahasan
Kegiatan pemerintah dalam menjalankan peranannya dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu Rechtshandelingen (golongan perbuatan hukum), dan Feitelijke Handelingen (golongan yang bukan perbuatan hukum). Yang dibahas lebih lanjut adalah Rechtshandelingen, sebab perbuatan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban hukum. Kemudian perbuatan hukum itu dibagi pula menjadi 2 golongan lagi, yakni perbuatan hukum menurut hukum privat (sipil) dan perbuatan hukum menurut hukum publik .

Kemudian perbuatan hukum menurut hukum publik dibagi menjadi 2 macam, yakni perbuatan hukum publik bersegi satu dan perbuatan hukum publik bersegi dua. Perbedaan mendasarnya ialah kehendak saja. Jika dalam perbuatan hukum menurut hukum publik bersegi satu hanya bersandar pada kehendak pemerintah saja, maka dalam perbuatan hukum menurut hukum publik yang bersegi dua maka terjadi pertemuan dua kehendak antara rakyat dengan pemerintah. Van der Pot memberi contoh dengan adanya kortverband contract (perjanjian kerja jangka pendek). Dalam kaitan ini maka kortverband contract yang ada di Indonesia dituangkan dalam beschikking .

Penting untuk mengetahui tentang seluk beluk mengenai perbuatan pemerintah itu sendiri. Perbuatan administrasi Tata Usaha Negara dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil . Karena yang dibahas adalah objek sengketa, dan objek sengketa ialah keputusan, maka penting untuk mengupas bagaimana keputusan itu sendiri. Keputusan tata usaha negara (beschikking) ini oleh Utrecht disebut sebagai ‘ketetapan’, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’ . Utrecht, PRINS, dan Van der Pot, juga menjelaskan bahwa beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan dua belah pihak . Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dari definisi menurut UU No. 5/1986 tersebut dapat dirumuskan elemen-elemen keputusan sebagai berikut, yaitu; penerapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata .

Kemudian indikator sengketa tata usaha negara dapat dilihat dari 2 hal yang menjadi pembentuknya. Yakni subjek dan objek. Subjek , yakni pihak siapa saja yang dapat menjadi pihak yang beracara di persidangan. Pihak yang pertama ialah orang pribadi, siapa saja yang penting adalah individu merdeka. Prinsip individu ini terkait dengan salah satu unsur beschikking yaitu individual. Badan hukum perdata juga dapat menjadi salah satu pihak bersengketa, karena posisinya juga sebagai individu, namun harus berstatus badan hukum perdata. Kemudian pihak yang kedua ialah badan atau pejabat tata usaha negara. Keduanya merupakan representasi negara sebagai penyelenggara urusan negara, yang mengeluarkan keputusan, baik bersifat itu wewenang langsung maupun pelimpahan kepadanya .

Dalam tulisan ini, karena yang dibahas adalah perluasan pemaknaan beschikking, dan dilihat dari perluasan subjek, yakni pihak yang berperkara. Secara lebih khusus lagi, yakni pihak yang mewakili pemerintah, yakni badan atau pejabat tata usaha negara. Bahwa subjek ini dapat diperluas, tidak hanya badan atau pejabat tata usaha negara saja. Menurut Mr. Drs, E. Utrecht, Badan Tata Usaha Negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum dapat melakukan beberapa macam cara, di mana yang bertindak adalah subyek hukum lain yang tidak termasuk Tata Usaha Negara dan mempunyai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah di mana hubungan itu diatur dengan hukum publik. Misal yang bertindak yayasan dan atau koperasi yang dipimpin atau diawasi atau diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi perundang-undangan) .

Perluasan pihak yang berperkara ini juga sejalan dengan kasus yang dialami oleh Arif Budiman terkait dengan pemecatannya selaku dosen di Universitas Kristen Satya Wacana. Perihal alasan dan latar belakang yang mendasari gugatan tersebut memang penting, namun ada hal yang jauh lebih menaik, yakni pihak tergugat. Dalam kasus ini pihak tergugat adalah Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) yang tidak lain adalah pihak swasta, menggantikan badan atau pejabat tata usaha negara. Ada beberapa peraturan yang menjadi dasar putusan dalam kasus ini, yang menyimpulkan adanya perluasan pihak yang berperkara. Bahwa didasarkan pada Pasal 31 UUD 1945 jo. UU No. 2 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertanggungjawabkan oleh seorang menteri serta dapat disimpulkan salah satu pihak yang ikut bertanggung jawab atas pendidikan nasional adalah Menteri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selain Menteri lain atau pimpinan lembaga lainnya, dengan demikian hanya pemerintah atau kekuasaan eksekutif sajalah yang berhak menyelenggarakan pendidikan .

Pengadilan juga berpendapat bahwa kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh badan hukum swasta/perdata yang mengelola suatu perguruan tinggi atau universitas seperti UKSW yang dikelola oleh YPTKSW termasuk urusan yang bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan seperti maksud pasal 1 butir 1 UU No. 5 tahun 1986, sepanjang badan hukum swasta tersebut memperoleh kewenangan dari Menteri yang berhak untuk itu seperti maksud pasal 1 butir 6 UU No. 5 tahun 1986. Hal ini yang mendasari pemikiran adanya pelimpahan wewenang dari negara kepada pihak swasta dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara kebijakan publik. Ini juga ditambah bahwa jika pihak swasta atau masyarakat ingin menyelenggarakan suatu pendidikan tinggi harus berbentuk yayasan yang telah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri . Dengan demikian peranan pejabat publik dapat digantikan oleh pihak di luar itu, yakni pihak swasta. Unsur-unsur beschikking, khususnya dalam unsur dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat diperluas, baik secara terbatas maupun tidak terbatas. Dengan dimenangkannya gugatan pihak penggugat berarti secara sah unsur ini telah dimaknai secara luas oleh pihak majelis hakim.

Kesimpulan
UKSW adalah suatu lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh YPTKSW, di mana syarat dan tata cara pendiriannya telah memenuhi peraturan perundangan yang berlaku termasuk di dalamnya persetujuan tertulis dari menteri, maka Pengadilan berpendapat bahwa sejak mendapat persetujuan tertulis dari menteri selaku wakil dari pemerintah, berdasarkan peraturan perundangan secara atribusi YPTKSW mendapat wewenang dari pemerintah untuk berperan serta dan bertindak sebagai mitra pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi, dengan demikian sebagai suatu organ/lembaga harus disebut sebagai badan TUN, sebagaimana maksud ketentuan pasal 1 butir 1 jo. pasal 1 butir 2 dan pasal 1 butir 6 UU No. 5 tahun 1986. Adanya keputusan ini menimbulkan preseden baru, yakni Perguruan Tinggi Swasta dapat digugat di PTUN, sebagai wakil dari pemerintah dalam menyelenggarakan salah satu kewajibannya, yakni kewajiban menyelenggarakan pendidikan nasional.

Keputusan PTUN dalam kasus ini merupakan yurisprudensi baru. Ada dua penafsiran dari keputusan itu. Pertama, dosen PTS dengan pimpinan ternyata berbeda dari hubungan antara buruh-majikan. Dengan demikian, tenaga kependidikan menempati posisi khusus dalam kehidupan nasional karena merupakan posisi yang strategis. Kedua, keputusan rektor PTS tetap ada hubungannya dengan birokrasi, sebab pengangkatannya harus dengan persetujuan menteri .

9 Comments

Filed under Hukum Aparatur Negara, Law, Uncategorized